Rabu, 30 Oktober 2013

Saat 9 Bakal Capres Berbicara Pemberantasan Korupsi

 
Saat 9 Bakal Capres Berbicara Pemberantasan Korupsi

Saat 9 Bakal Capres Berbicara Pemberantasan Korupsi

Saat 9 Bakal Capres Berbicara Pemberantasan Korupsi

 Tingginya angka tindak pidana korupsi di Indonesia telah menjadi keprihatinan bersama. Kejahatan luar biasa itu telah merata terjadi di semua lini, tidak hanya menjangkiti kalangan eksekutif atau legislatif, tetapi juga pejabat yudikatif.

Sadar akan dampak buruk yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi, Kompas TV, melalui program forum diskusi Indonesia Baru dalam rangkaian program Indonesia Satu, menghadirkan sembilan tokoh yang berdasarkan survei Litbang Kompas merupakan tokoh yang dipilih masyarakat menjadi calon presiden pada 2014.

Diskusi ini disiarkan secara langsung pada pukul 19.00 WIB, dari Studio Orange Kompas TV, Jakarta, Rabu (30/10/2013). Mereka adalah Jusuf Kalla, Wiranto, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Pramono Edhie Wibowo, Gita Wirjawan, Hidayat Nur Wahid, dan Rhoma Irama.


Salah satu tema yang diambil dalam diskusi ini adalah pemberantasan korupsi. Lalu, bagaimana gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut pada tindakan korup yang terus menggerogoti bangsa ini?

Menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk memberangus dan menyelesaikan penyakit korupsi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui penyebab dan celah terjadinya korupsi. Baginya, penyebab korupsi adalah sistem yang buruk, penegakan hukum yang lemah, dan minimnya keteladanan dari para pemimpin.

"Kalau tidak tahu sebabnya, bagaimana mau menghentikan? Maka, perlu dibalik, harus ada teladan dari pemimpin, perbaiki sistem, dan hukum harus tegas," kata Kalla.

Sama halnya dengan Kalla, calon presiden dari Partai Hanura, Wiranto, juga menyampaikan maraknya praktik korupsi disebabkan minimnya sosok pemimpin yang dapat diteladani. Akibatnya, publik tidak memiliki contoh pemimpin yang bersih dan tegas.

Hal itu diamini oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Gita beranggapan korupsi terjadi karena kekuasaan terbagi antara pemerintah pusat, DPR, dan pemerintah daerah.

Lain hal dengan Kalla, Wiranto dan Gita, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD justru menganggap korupsi sudah marak terjadi sejak dari hulu, khususnya di sisi birokrasi dan DPR. Menurutnya, hal itu nampak jelas dari kewenangan DPR mengatur dan membahas anggaran sampai kesatuan ketiga.

"Dulu korupsi di hilir, setelah anggaran sudah ditetapkan. Tapi, sekarang (korupsi) sudah sejak penyusunannya, kongkalikong tender, dan lainnya," kata Mahfud.

Menanggapi itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa hak anggaran di parlemen sebenarnya bertujuan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Ia membantah bahwa kewenangan tersebut dimanfaatkan DPR untuk mengatur tender dalam sebuah proyek.

"Ini tergantung bagaimana melihatnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga," kata Hidayat.

Namun begitu, Anies Baswedan menyampaikan bahwa korupsi terjadi karena tiga hal, yakni kebutuhan, sifat serakah, dan sistem yang salah. Menurut Anies, untuk menekan terjadinya praktik korupsi, pemerintah harus mampu membuat regulasi yang membatasi hubungan politik dengan uang.

"Kenapa? Karena belum pernah ada dalam sejarah bangsa ini usaha memerangi korupsi sehebat kali ini," pungkasnya.

Sementara bagi Rhoma, korupsi marak terjadi karena hukum dijadikan ajang bisnis. Hal itu terjadi karena penegakan hukum hanya sebatas formalitas yang sisi keadilannya samar terlihat. "Istilahnya mega-lawyering, pandangan bahwa hukum adalah peluang bisnis. Ini peluang pada pelaku menjadikan hukum sebagai dagangan," tandasnya.

Gagasan sedikit berbeda dilontarkan oleh Dahlan Iskan. Ia mengatakan, korupsi dapat ditekan bila pejabat struktural di Indonesia dikurangi setengah dan dialihkan menjadi pejabat fungsional. "Saya sudah coba kurangi 20 persen dan saya yakin negara tidak akan mati," tandasnya.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar